Taman Budaya yang Hendak Digusur: Ketika Ruang Seni Dikorbankan untuk BBM

(Charlie Boy Samola, S.S. Penulis)

Di tengah hiruk pikuk pembangunan kota Manado yang terus bergerak ke arah modernitas, terselip sebuah kabar yang mengguncang nurani para pelaku Seni dan Budaya: Taman Budaya Sulawesi Utara, yang selama puluhan tahun menjadi rumah bagi seniman dan pegiat kebudayaan, rencananya akan dialihfungsikan menjadi lokasi SPBU. Sebuah taman budaya, yang menjadi ruang ekspresi, ruang pertemuan, dan simbol kebanggaan kultural Masyarakat, akan digantikan oleh pompa bensin.

Bagi banyak orang yang tumbuh di sekitar dunia kesenian, Taman Budaya bukan sekadar bangunan tua di Jalan Maengket, Wanea. Ia adalah sebuah ruang hidup. Di sanalah para Seniman Teater, Musisi Tradisional, Sastrawan, dan Pegiat Budaya menyalakan Api Kreativitas yang menjaga identitas Minahasa dan kebudayaan Sulawesi Utara agar jangan sampai padam. Di halaman taman itu, berbagai pentas lahir bukan karena kemewahan, melainkan karena kecintaan dan dedikasi terhadap kesenian. Ruang ini telah menjadi saksi bagi perjuangan Seniman lokal dalam menghadirkan makna di tengah masyarakat yang semakin sibuk mengejar efisiensi dan keuntungan.

Bacaan Lainnya

Namun hari ini, ruang yang selama ini menampung jiwa-jiwa kreatif itu sedang dipertaruhkan oleh logika pembangunan ekonomi. Pihak dari pemerintah daerah berencana menggusur sebagian atau seluruh lahan taman untuk dijadikan SPBU. Alasannya, kebutuhan energi dan pelayanan publik dianggap lebih mendesak. Tetapi, benarkah pembangunan seperti itu selalu identik dengan kemajuan? Apakah menggantikan ruang budaya dengan pompa bensin adalah wujud dari kemajuan yang kita dambakan?

Kabar penggusuran ini mengundang gelombang protes. Banyak pegiat seni, komunitas teater dan budayawan bersatu padu menyuarakan penolakan. Mereka melihatnya sebagai musibah kesenian dan kebudayaan. Hal itu terdengar berlebihan bagi sebagian orang, tetapi bagi para pelaku seni dan budaya, kehilangan ruang ekspresi sama halnya dengan kehilangan tempat tinggal batin. Karena bagi mereka, Taman Budaya adalah rumah, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi sejarah, nilai, dan ingatan kolektif masyarakat Sulawesi Utara.

Alih fungsi semacam ini menunjukkan benturan tajam antara dua rasionalitas: yang satu berpijak pada ekonomi, yang lain pada kebudayaan. Pembangunan yang berorientasi pada keuntungan materi seringkali mengabaikan dimensi simbolik yang menjadi roh suatu kota. Manado boleh saja berkembang secara fisik, tetapi apakah pembangunan itu masih menyisakan ruang bagi jiwa manusia yang ingin berekspresi, mewujudkan imajinasi, dan berkreasi? Ketika ruang Seni dan Budaya diubah menjadi lahan komersial, kota akan kehilangan bagian dari jati dirinya.

Taman Budaya Sulut sejatinya bukan sekadar fasilitas pemerintah. Ia adalah Lanskap sosial yang melahirkan dialog antara masa lalu dan masa kini. Setiap dinding dan panggungnya memuat jejak perjalanan para seniman yang menafsirkan kehidupan dengan cara khas. Menghapusnya berarti memutus kesinambungan sejarah kesenian daerah yang sedang berjuang bertahan di tengah gempuran globalisasi dan budaya instan.

Yang lebih ironis lagi, rencana ini muncul ketika wacana Nasional justru sedang menekankan pentingnya pelestarian warisan budaya dan penguatan ekonomi kreatif. Pemerintah pusat mendorong daerah agar mengembangkan sektor seni dan kebudayaan sebagai sumber ekonomi baru. Tapi bagaimana itu bisa tercapai jika ruang seni justru dihancurkan? Bukankah Taman Budaya seharusnya menjadi laboratorium utama bagi pertumbuhan kreativitas lokal? Kehadiran SPBU mungkin membawa pemasukan dan manfaat yang praktis, tetapi dampak kultural dari kehilangan Taman Budaya jauh lebih dalam. Hilangnya tempat seperti itu tidak hanya mematikan aktivitas kesenian dan kebudayaan, tetapi juga melemahkan daya hidup masyarakat. Kota tanpa ruang seni dan budaya akan menjadi kota yang miskin makna, penuh bangunan tapi kosong jiwa.

Para seniman menuntut dialog. Mereka tidak menolak pembangunan, tetapi menolak cara berpikir yang mengorbankan nilai demi Efisiensi. Pembangunan semestinya mampu menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan batin masyarakat. Jika pemerintah sungguh menghargai kebudayaan, mestinya mereka membuka ruang diskusi dan mencari solusi yang tidak menghancurkan identitas kultural warganya. Kasus Taman Budaya Sulut ini seharusnya menjadi refleksi bagi semua kota di Indonesia: apakah pembangunan yang kita jalankan hari ini benar-benar “Si Tou Timou Tumou Tou” atau memanusiakan manusia? Ataukah secara perlahan-lahan menggantikan keindahan, sejarah, dan kebersamaan dengan aroma BBM dan suara mesin?

Manado sedang diuji. Apakah ia akan menjaga Taman Budaya sebagai simbol peradaban, atau menjualnya demi kebutuhan bahan bakar? Karena di balik keputusan ini, bukan hanya tanah yang digusur, tetapi juga nilai-nilai yang selama ini menumbuhkan kebanggaan dan kreativitas rakyatnya. Jika Taman Budaya benar-benar lenyap, maka yang padam bukan hanya lampu panggung, melainkan cahaya kebudayaan yang selama ini menyinari jati diri Sulawesi Utara. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *